Oleh : Purjono Agus Suhendro
08-Des-2006, 15:01:46 WIB - [www.kabarindonesia.com]
DITEMUKANNYA bunga raksasa di ranah Bengkoelen oleh Raffles, seorang penjajah Inggris zaman dahulu kala, merupakan cikal bakal ditetapkannya Bengkulu sebagai Bumi Rafflesia. Namun, akankah merek (brand) atau simbol itu memberikan kontribusi yang besar bagi Bengkulu saat ini? Atau, apa keuntungannya setelah 38 tahun provinsi ini berdiri?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya teringat dengan pendapat Pakar Pemasaran Hermawan Kartajaya. Presiden MarkPlus & Co itu mengemukakan bahwa: “Brand bukan sekadar nama, bukan pula logo atau simbol semata. Brand adalah value indicator dari apa yang Anda tawarkan. Ia adalah payung yang melingkupi produk atau pelayanan perusahaan, pribadi, atau bahkan negara.” (Hermawan Kartajaya on brand, Mizan, 2004).
Brand adalah ekuitas perusahaan yang berpengaruh terhadap produk dan pelayanan yang ditawarkan oleh perusahaan, pribadi, daerah, atau bahkan negara. Brand dapat menciptakan nilai bagi konsumen melalui kualitas produk dan kepuasan konsumen. Bengkulu is the brand, and Bumi Rafflesia is the symbol. Bengkulu adalah merek, dan Bumi Rafflesia sebagai simbol dari merek tersebut. Seperti kita ketahui, Bengkulu adalah sebuah otoritas daerah yang berada di bagian barat Pulau Sumatra. Letaknya sedikit tidak menguntungkan karena bukan merupakan jalur lintas transnasional.
Jika boleh menafsirkan, oleh pemerintah daerahnya, Bengkulu memang diposisikan sebagai kota pariwisata sejak dahulu. Bunga Rafflesia, selain menjadi simbol provinsi ini, otomatis menjadi positioning bahwa Bengkulu berharap sekali mendapatkan keuntungan dari objek wisata itu, di samping dari objek-objek wisata lainnya. Akan tetapi, sayang sekali keinginan itu ibarat “jauh panggang dari api”, sehingga menjadi cita-cita belaka. Pemerintah daerah yang berharap banyak dari pendapatan pariwisata hanya bertindak sebagai dagelan (pelawak) dengan main script yang tak lucu sama sekali. Sektor pariwisata yang jelas sekali amburadul justru menjadi simbol dari sebuah daerah.
Saya ingin mengajak jalan-jalan sebentar ke daerah lain, yakni Yogyakarta. Siapa yang tak mengenal Kota Pendidikan itu? Siapa pula yang tak mengetahui Yogyakarta sebagai Kota Gudeg? Jika kita ke sana, orang akan selalu mampir ke Malioboro sebagai tempat yang mengasyikkan untuk jalan-jalan dan berbelanja. Di Jogja, ke mana kita melangkah, di situ ada sekolah dan atau kampus, juga warung gudeg. Mari kita jalan-jalan yang jauh sekali. New York adalah kota yang diposisikan sebagai pusat bisnis di Amerika. Di Kota Bisnis itu, terdapat Chrysler Building dan Rockefeller Center yang sangat terkenal. Orang gampang sekali mencari kedua gedung itu tanpa banyak bertanya. Dan, Kota Bisnis adalah positioning-nya dengan bukti-bukti gedung-gedung termasyur tersebut. Tanpa membaca tagline New York adalah Kota Bisnis, pengunjung dengan sendirinya akan mengerti bahwa ia sedang berada di Kota Bisnis.
Kemudian kita kembali ke Bengkulu. Akankah langsung dan mudah mendapatkan bunga rafflesia? Puaskah dengan objek-objek wisata yang “acak-kadul” tak terawat? Dengan demikian, akan masukkah wisatawan-wisatawan ke Bumi Rafflesia ini? Dengan lantang saya ingin mengemukakan bahwa positioning Bengkulu sebagai Bumi Rafflesia adalah salah besar. Kebiasaan masyarakat feodal yang selalu mengagung-agungkan masa lalu masih melekat pada masyarakat Bengkulu. Tidak berani membuat perubahan (change management) secara signifikan. Dan celakanya, itu terus terjadi hingga sekarang, tak terkecuali dilakukan oleh pemerintah daerahnya. Bagi saya, mungkin juga para ahli pemasaran lainnya, rafflesia adalah masa lalu, bukan masa depan. Oleh karena itu, saya berharap pemerintah dan masyarakat Bengkulu segera menyadari bahwa untuk mencapai perkembangan yang lebih baik diharuskan melakukan perubahan (change) yang berarti, terutama positioning sebagai Bumi Rafflesia.
Kota Pariwisata Internasional
Gubernur baru semangat baru. Itulah gambaran yang dapat kita rasakan pascapemilihan gubernur Bengkulu beberapa waktu lalu. Ada yang menarik yang dapat kita tangkap dari gubernur terpilih, Agusrin N. Najamuddin. Sepak terjang Agusrin patut diacungi jempol karena telah memperjelas positioning provinsi ini. Artinya, Bengkulu yang sebelumnya hanya menjadi Bumi Rafflesia kini ditetapkan dengan positioning yang jauh lebih luas, yakni Kota Pariwisata Internasional. Sayangnya, positioning Provinsi Bengkulu sebagai Kota Pariwisata Internasional bagai “pungguk merindukan bulan”, “ingin hati meraih gunung apa daya tangan tak sampai”. Jelas betul bahwa positioning Bengkulu sebagai Bumi Rafflesia tidak memberikan kontribusi yang signifikan kepada daerah. Kini, sektor pariwisata kembali digembar-gemborkan menjadi basis pemasukan kas Bengkulu. Omong kosong, bukan? Ada satu pertanyaan yang rasanya perlu saya utarakan menyangkut positioning ini: apa yang telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Bengkulu untuk menyukseskan pencanangan Kota Pariwisata Internasional? Untuk menjawabnya, saya ingin mencontohkan terlebih dahulu bagaimana Pulau Umang melakukan komunikasi pemasaran (marketing communications) dengan begitu strategis dan tepat.
Awal Maret lalu, saya bersama Presiden Ujungkulon Conservation Society, Marzuki Usman, berkunjung ke Pulau Umang, pulau seluas lima hektare yang terletak di sebelah barat Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Pulau yang sebelumnya hanya berupa semak belukar itu disulap menjadi kawasan wisata modern dan menakjubkan. Selain pemandangannya yang indah, fasilitas penginapannya pun lengkap tersedia. Ada 6o vila, masing-masing vila terdapat dua kamar dan gazebo. Ingin tahu berapa harga satu vila yang berukuran kurang lebih 30 meter persegi itu? Minimal Rp1 miliar! Adapun sasaran pengunjung (target market) daripada Pulau Umang tak lain adalah wisatawan asing. Nama sekaligus status atau positioning-nya juga diperjelas menjadi Pulau Umang Resort & Spa. Tahukah Anda bagaimana mereka melakukan komunikasi pemasaran (marketing communications)-nya? Pengelola Pulau Umang mengadakan road show ke semua benua dan memanfaatkan media massa cetak-elektronik lokal, nasional, maupun internasional sebagai upaya promosi mereka. Tidak hanya itu, tiga bulan sekali manajemen pulau itu mengadakan seminar dan konferensi pers di tempat yang berbeda-beda. Terakhir, di Planet Hollywood, Jakarta Selatan, pada 13 Oktober 2006, yang juga saya hadiri. Pada kesempatan tersebut manajemen Pulau Umang Resort & Spa sengaja menghadirkan beberapa artis Multivisions dan Agum Gumelar serta wakil dari Kementerian Kehutanan, juga tokoh lainnya.
Lalu, bagaimana dengan Bengkulu yang Kota Pariwisata Internasional ini? Jangankan melakukan road show ke semua benua seperti yang dilakukan manajemen Pulau Umang Resort & Spa, konsepnya saja tidak jelas arahnya. Penggila traveling domestik saja cukup susah untuk digaet karena informasi tentang pariwisata Bengkulu di media massa tidak pernah muncul, apalagi wisatawan mancanegara. Bengkulu sebagai Kota Pariwisata Internasional merupakan impian yang menggebu-gebu, tetapi saya rasa hanya sebatas itu (sebuah impian semata).
Blue Ocean Strategy
Sejak dahulu perusahaan maupun daerah hanya memikirkan bagaimana menjual produknya dengan banderol yang tak jauh berbeda satu sama lain. Persaingan hanya akan membawa perusahaan atau daerah-daerah terkait menjadi berdarah-berdarah (rugi dan sebagainya) hingga menciptakan red ocean (samudra merah). Bengkulu, misalnya, setelah ditetapkan sebagai Kota Pariwisata Internasional, berarti daerah ini menantang Bali, Jakarta, Bangka Belitung, dan beberapa daerah wisata lainnya. Sementara, Bengkulu tidak memiliki “senjata” untuk memenangkannya. Terus terang, Bali dan Bengkulu itu ibarat bumi dan langit, jauh jaraknya. Yang dibutuhkan pemerintah daerah provinsi ini adalah menciptakan blue ocean strategy (strategi samudra biru). Menciptakan peluang pasar tanpa ada pesaing, mengemas strategi masa depan dengan gemilang, dan mengelola komunikasi pemasaran (marketing communications) berbiaya rendah. Intinya, di dalam mengelola sebuah daerah atau negara sekalipun dibutuhkan inovasi. Berbicara tentang inovasi, saya jadi teringat dengan Prof. W. Chan Kim, pembicara dalam sebuah seminar pemasaran di Ritz Carlton Hotel, Jakarta, persis setahun lalu. Di dalam seminar tersebut dia menyampaikan: “How to creat uncontested market space and make competition irrelevant,” yang berarti ciptakan ruang pasar tanpa pesaing dan biarkan kompetisi tak lagi relevan. Barangkali Inul Daratista bisa menjadi contoh yang paling gampang dipahami. Tahukah Anda dengan Inul? Jelas semua orang tahu, Inul adalah seorang penyanyi dangdut yang terdongkrak lewat goyang “ngebor”-nya. Tetapi, tahukah Anda dengan Ainur Rohimah? Tak semua orang tahu bahwa Ainur Rohimah dan Inul adalah satu orang. Inul Daratista adalah merek, sedangkan namanya tetap Ainur Rohimah. Berhasil memosisikan diri dengan goyangannya itu, akhirnya merek Inul pun dikenal luas, bahkan sukses go international. Masa bodoh dengan kontroversi yang menderanya, yang pasti Inul adalah orang kampung (Pasuruan) yang cerdik dan mampu membaca peluang. Ketika Inul muncul “mengebor” panggung dan berhasil mencuri hati jutaan pemirsa televisi, artinya ia telah sukses melakukan strategi samudra biru karena saat itu tidak ada goyangan-goyangan lain yang mirip besutannya. Apa jadinya jika Inul tetap menggunakan nama Ainur dan tampil biasa-biasa saja? Nah, bagi Bengkulu, berkompetisi dengan daerah lain untuk memenangkan sebutan sebagai Kota Pariwisata Internasional tentunya tak semudah membalikkan telapak tangan. Oleh karena itu, teori blue ocean strategy dapat dijadikan acuan bagi Pemerintah Daerah Bengkulu dalam menentukan positioning menuju daerah yang produktif dan prospektif serta tidak dipandang sebelah mata oleh daerah lain. Ada baiknya jika samudra biru yang dimaksud adalah pengembangan biodiesel kelapa sawit atau yang berkaitan dengan itu. Kalau ada potensi lain, silakan saja! Selamat berulang tahun yang ke-38.
Purjono Agus Suhendro - Managing Director Pasmedia Communications Indonesia
Rabu, 05 Maret 2008
Bengkulu on Brand, Positioning, and Marketing Target
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar